Nama al-Gazali terkadang ditulis dan diucapkan dengan kata al-Gazzali (dua huruf zz). Kata ini diambil dari kata Ghazzal, yang artinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayah al-Gazali memintal benang Wol.
Adapun kata al-Gazali (satu huruf z) diambil dari kata, Ghazalah, yaitu nama perkampungan tempat al-Gazali dilahirkan. (Sya’ban Muhammad Ismail, 1994 : 166).
Latar belakang pendidikannya dimulai dengan belajar al-Qur’an pada ayahnya sendiri. Kemudian ia belajar pada Ahmad bin Muhammad al-Razikani, seorang sufi besar. Setelah menamatkan pendidikannya di Thus, kemudian ia melanjutkan di Naisapur.
Di sana ia berguru dan belajar Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh, Logika, Filsafat dan Tasawwwuf kepada Imam al-Haramayn al-Juwaini. Melihat kecerdasan dan kemampuan, al-Juwaini memberinya gelar “bahr al-mughriq” (bahtera yang menghanyutkan).
Karya tulis Imam al-Gazali mencapai lebih kurang 300 buah. Ia sudah mulai mengarang buku pada usia dua puluh lima tahun ketika masih berada di Naisabur. Adapun waktu yang dipergunakan untuk mengarang adalah selama tiga puluh tahun.
Hal ini berarti, dalam setiap tahun, ia menghasilkan karyanya tidak kurang dari sepuluh buah karya (Kitab atau Buku) besar dan kecil dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, yang diantaranya:
Ilmu Kalam dan Filsfat
Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifa, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Al-Munqid min Adh-Dhalala, Maqashid Asma fi al-Ma’ani. Asma al-Husna, Faishal at-Tafriqah, Qisthas al-Mustaqim, Al-Musthaziri, Hujjat al-Haq, Munfashil al-Khilaf fi Ushul ad-Din, Al-Muntahal fi Ilm al-Jadal, Al-Madinun bi al-Ghair Ahlihi, Mahkum an-Nadhar, Ara Ilmu ad-Din, Arba’in fi Ushul ad-Din, Iljam al-Awam’an Ilm al-Kat, Mi’yar al-‘Ilm, Al-Intishar, dan Isbat an-Nadhar.
Fiqh dan Ushul Fiqh
Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashah al-Mukhtasar, Al-Mustashfa, Al-Mankhul, Syifakh al-‘Alil fi Qiyas wa Ta’lil, dan Al-Dzari’ah Ila Makarim al-Syari’ah.
Kitab Tafsir
Yaqul at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil dan Zawahir al-Qur’an.
Ilmu Tasawuf dan Akhlak
Ihya’ Ulum ad-Din, Mizan al-Amanah, Kimya as-Sa’adah, Misykat al-Anwar, Muhasyafat al-Qulub, Minhaj al-Abidin, Al-Dar Fiqhirat fi Kasyf ‘Ulum, Al-aini fi al-Wahdat, Al-Qurbat Ila Allah Azza wa Jallah, Akhlak al-Abrar wa Najat min al-Asrar, Bidayat al-Hidayat, Al-Mabadi wa al-Hidayah, Nashihat al-Mulk, Talbil al-Iblis, Al-‘Ilm al-Laduniyyah, Ar-Risalat al-Laduniyyah, Al-Ma’khadz, Al-‘Amali, dan Al-Ma’arij al-Quds.
Pemikiran al-Gazali Tentang Pendidikan
Al-Gazali termasuk kedalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikan yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa.
Jika dilihat dari segi filosofis, al-Gazali adalah penganut paham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya.
Dalam masalah pendidikan al-Gazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang sangat berharga sederhana dan bersih dari gambaran apapun.
Tujuan Pendidikan
Al-Gazali menekankan bahwa tujuan pendidikan Islam sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Al-Gazali tidak membenarkan belajar dengan tujuan duniawi. Dalam hal ini, al-Gazali menyatakan:
“Hasil dari ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah Tuhan sekalian alam, dan menghubungkan diri dengan Malaikat yang tinggi dan berkumpul dengan alam arwah. Semua itu adalah keagungan dan penghormatan secara mulia“.
Pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam dapat diklafikasi kepada tiga, yaitu:
Tujuan mempelajari Ilmu pengetahuan semata-mata untuk Ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud Ibadah kepada Allah.
Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlakul karimah.
Tujuan pendidikan Islam adalah menghantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan ketiga tujuan ini diharapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu menghantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah.
Tujuan ini tampak bernuansa Religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi rumusan tujuan pendidikan al-Gazali yang demikian itu karna ia memandang dunia ini bukan merupakan hal yang pokok menurutnya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah duniawi hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup dialam akhirat yang lebih utama dan kekal.
Dunia menjadi alat perkebunan untuk kehidupan akhirat yang akan menghantarkan seorang menemui Tuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan al-Gazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia hanya sebagai alat. Hal ini dipahami al-Gazali berdasarkan Ayat;
Artinya : Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (QS. Al-Hadid : 20).
Pendidik
Al-Gazali berpandangan “idialistik” terhadap profosi guru. Idealisasiguru, menurutnya,adalah orang yang berilmu dengan amal.
Berangkat dari perspektip inilah, al-Gazali menjelaskan bahwa orang mengajar merupakan orang yang “bergelut” dengan sesuatu yang amat penting, sehingga ia perlu menjadi etika dan kode etik propesinya.
Di samping itu, al-Gazali menegaska bahwa guru berfungsi sebagai penuntun dan pembimbing bagi peserta didik.
Dalam menjalankan tugas, ia menganjurkan agar guru mengajarkan dan membimbing peserta didiknya denga penuh kasih sayang sebagaimana ia mengajar dan mendidik anaknya sendiri. Ia berpesan: “Didiklah muridmu dan perlakukanlah seperti anakmu sendiri’’.
Ia mengutip sabda Nabi: ”Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya” (Hr. Abu dawud ,Al-Nasa’i, Ibn Majah, Ibn Hibban).
Menurutnya pendidik (guru) adalah orang yang berusaha membimbing, menyempurnakan, mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan kholiknya.
Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia nerupakan mahluk yang mulia. Kemulian maunusia terletak pada kesucian hatinya.
Untuk itu, pendiri dalam perspektif islam melaksanakan proses pendidikan islam hendaknya diarahkan kepada espek tazkiah al-Nafs.
Seorang pendidik dituntut memiliki beberapa keutamaan yang menjadi kepribaiannya. Diantara sifat-sifat tersebut adalah;
Sabar dalam menanggapi pertanyaan peserta didik, Senantiasa bersifat kasih, tanpa pilih kasih, Duduk dengan sopan, tidak riya’ dan pamer, Tidak takabbur, kepada orang-orang yang dzalim dengan maksud mencegah tindakannya, Bersikap tawaddu’ dalam setiap pertemuan ilmiah, Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan, Memiliki sifat bersahabat terhadap semua peserta didiknya, Menyantuni dan tidak membentak orang-orang yang bodoh, Membimbing dan mendidik peserta didik yang bodoh dengan cara sebaik-baiknya, dan Menampilkan hujjah yang benar.
Senada dengan hal tersebut, al-Gazali mengemukakan bahwa dalam hal mengajar, seorang pendidik harus berorintasi pada;
Memelihara anak dari perbuatan tercela, Membimbingnya agar menjadi anak yang Shaleh, Menjauhkan anak dari pergaulan yang jelek, Mengajarkan cara yang benar dalam mencari rizki, Mengajar anak agar tidak sombong, Mengajarkan al-Qur’an, dan Memberikan kesempatan untuk bermain dan berolahraga untuk mengembangkan penalarannya.
Pandangan al-Gazali tersebut mendiskripsikan moral bahwa mengajar menekankan pada aspek pembinaan moral yang mengacu pada baik buruknya manusia, yang berkaitan dengan nilai-nilai susila serta berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan benar ataupun salah.
Peserta Didik
Berkaitan dengan peserta didik, al-Gazali menyatakan bahwa setiap manusia lahir membawa fitrah sebagai potensi dasar untuk beriman kepada Allah SWT, fitrah itu sengaja disampaikan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang cendrung kepada agama tauhid (Islam).
Oleh karenanya, tugas orang tua dan pendidik tersebut agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan pencipta-Nya.
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar termasuk Ibadah.
Oleh karena itu, segala bentuk Ibadah adalah merupakan ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak dan mendekatkan diri kepada Allah.
Sejalan dengan itu, Muhammad Munir Mursi mengemukakan bahwa al-Gazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari disekolah, yaitu;
Ilmu al-Qur’an dan ilmu agama seperti Fiqih, Hadits dan Tafsir, Sekumpulan bahasa, Nahwu dan Mahroj serta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini membantu ilmu agama, Ilmu-ilmu fardu kifayah, seperti, kedokteran, matematika, teknologi yang beranika ragam jenisnya termasuk juga ilmu politik, dan Ilmu kebudayaan seperti, syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
Jika diamati secara seksama, nampak bahwa al-Gazali menggunakan dua pendekatan dalam membagi ilmu pengetahuan, yaitu;
Pertama, pendekatan fiqh yang melahirkan pembagian ilmu pada yang wajib dan fardu kifayah.
Kedua, pendekatan tasawwuf (akhlak) yang melahirkan ilmu pada ilmu yang terpuji dan yang tercela.
Hal ini akan semakin jelas jika dihubungkan dengan tujuan pendidikan diatas, yakni pendekatan diri kepada Allah SWT (Taqarrub Ila Allah).
Sejalan dengan prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut;
Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabbur. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Gazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan bimbingan dari guru.
Merasa satu bagunan dengan murid yang lainnya dan saling menyayangi satu sama lain.
Mempelajari tidak hanya satu ilmu yang bermanfaat saja, melainkan berbagai ilmu dan berupaya bersungguh-sungguh untuk mencapai ilmu tersebut.
Ciri-ciri yang demikian nampak juga masih dilihat dari perspektif tasawwuf yang menempatkan murid sebagaimana murid dihadapan gurunya.
Ciri-ciri tersebut untuk masa sekarang harus ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa siswa lebih kreativitas dan lebih giat dalam belajar.
Kurikulum
Secara tradisional kurikulum merupakan mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah ilmu pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungan.
Kurikulum tersebut disusunsedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pandangan al-Gazali mengenai kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok, yaitu;
Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia didunia maupun diakhirat, misalnya; ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu perdukunan. Bila ilmu terebut dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan terhadap adanya Tuhan.
Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini jika dipelajari akan membawa kepada kebaikan.
Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Gazali membagi ilmu menjadi dua kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu;
Ilmu yang wajib (fardu ‘ain) diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitab Allah, dan Ilmu (fardu kifayah), yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan dunia, seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.