Langit sore itu berwarna jingga, membingkai parit terakhir tempat Adi dan rekan-rekannya berlindung. Suara dentuman senjata dan bau mesiu sudah menjadi keseharian mereka.
Adi, prajurit muda yang belum lama bertugas, memegang sebuah pena dan kertas dengan gemetar.
Hari itu, ia menulis surat untuk seseorang yang sangat berarti baginya-ibunya.
“Ibu, jika surat ini sampai di tanganmu, aku berharap kau tahu bahwa aku berjuang bukan hanya demi tanah ini, tapi juga untuk dirimu, yang selalu menjadi sumber kekuatanku. Aku baik-baik saja di sini, meskipun suasana tak pernah tenang. Setiap hari, aku memikirkan masakanmu, tawa adik-adikku, dan nasihat bijakmu”.
Adi berhenti menulis sejenak, melihat ke arah teman-temannya yang beristirahat dengan kelelahan di parit.
Mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya sebelum perang ini, namun kini, mereka bagai saudara yang saling menjaga satu sama lain.
“Ibu, jangan khawatir tentang aku. Semua ini kulakukan dengan ikhlas, karena aku tahu kau mendukungku. Doakan kami, Bu, agar kami dapat kembali ke rumah dengan selamat”.
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar lebih dekat. Adi menyelipkan suratnya di saku, siap kembali bertugas. Baginya, surat itu adalah sebuah doa, pesan yang membawa harapan untuk pulang.
Parit terakhir itu menjadi saksi perjuangan mereka, tempat di mana keberanian dan harapan tumbuh meski di tengah kegelapan perang.
*) Oleh : Amelia Dwi Safitri