Sejarah kalender Islam diawali ketika Gubernur Abu Musa Al-Asyari mengirimkan surat kepada Khalifah Umar Bin Khattab pada tahun 17 Hijriyah yang mengungkapkan kebingungannya perihal surat yang tidak memiliki tahun.
Pada masa itu umat Islam masih mengadopsi peradaban Arab pra-Islam dalam menggunakan penanggalan, yaitu menuliskan sebatas bulan dan tanggal tanpa tahun di dalamnya. Maka hal itu menyulitkan Gubernur saat melakukan pengarsipan dokumen. Melalui keresahan tersebut, kemudian muncul gagasan awal untuk menetapkan kalender Islam.
Menindaklanjuti surat dari Abu Musa al-Asy’ari, Khalifah Umar mengundang Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf RA, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam RA, Sa’ad bin Waqqas, serta Thalhah bin Ubaidillah sebagai tim yang bertugas penyusunan kalender Islam.
Usulan pertama, yaitu kalender Islam dimulai di tahun Gajah di mana waktu kelahiran Nabi. Kemudian, ada pula usul tahun wafatnya Nabi dan tahun pengangkatan Rasul, hingga opsi di tahun hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Usulan keempat yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib lah yang disepakati sebagai awal tahun Islam, yaitu ditandai dengan peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Pendapat tersebut, dianggap sebagai peristiwa besar bagi Islam yang mana hijrah merupakan simbol perpindahan masa jahiliyah ke masyarakat madani.
Saat keputusan awal tahun telah disepakati, pembahasan selanjutnya adalah bulan pertama yang mengawali tahun Islam. Kemudian, muncul usulan bulan Rabi’ al-Awwal diajukan sebagai awal bulan untuk memulai tahun. Hal ini dikarenakan Rasulullah hijrah pada bulan tersebut.
Namun, usulan ini ditolak. Khalifah Umar justru memilih bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam susunan tahun Hijriyah. Pendapat ini didukung pula oleh Utsman bin Affan. Alasannya, bulan Muharram merupakan awal dimulainya hijrah, meskipun hijrah dilakukan di bulan Rabi’ al-Awwal.
Khalifah Umar mengatakan, wacana hijrah dimulai setelah beberapa sahabat membaiat Nabi, yang dilaksanakan pada penghujung bulan Dzulhijjah. Adapun bulan yang muncul setelah Dzulhijjah yaitu bulan Muharram.
Oleh sebab itu, Muharram dipilih serta disepakati menjadi bulan pembuka dalam tahun Hijriyah.
Muharram adalah bulan yang dimuliakan, bahkan sebelum datangnya Islam. Sebab, pada bulan ini terdapat larangan untuk melakukan perbuatan zalim baik untuk diri sendiri maupun orang lain, seperti peperangan.
Dilarangnya tumpah darah pada bulan ini merupakan hukum adat masyarakat Arab Jahiliyah yang tak tertulis serta berlaku sejak lama.
Penjelasan mengenai Muharram sebagai bulan mulia tersirat dalam firman Allah surah at-Taubah: 36.
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram…..”
Adapun empat bulan haram (mulia) sebagaimana yang dijelaskan oleh at-Thabari dalam tafsirnya yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Salah satu keutamaan bulan Muharram adalah adanya anjuran untuk puasa Tasu’a dan Asyura. Sebagaimana yang dikutip dalam hadis riwayat Imam Muslim:
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim)
Adapun anjuran berpuasa dua hari dalam bulan Muharram berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas ra.
Demikianlah sejarah 1 Muharram yang ditandai dengan peristiwa awal mula adanya penanggalan Hijriyah dilengkapi dengan keutamaan bulan Muharram.