Pahlawan Dari Pulau Yang Terlupakan oleh Kaum Muda

Hanafi, S.Pd.I : Pengajar di MTs. Al-Hasan dan Penggiat Literasi Pengurus “TBM Somber Elmo” Kampung Sumber Gedugan Giligenting Sumenep

FALIHMEDIA.COM – Giligenting merupakan nama sebuah pulau kecil yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Sumenep. Konon, nama Giligenting sendiri merupakan gabungan dari dua suku kata yang memiliki arti yakni “Gili” atau “Agili” yang artinya sebuah aliran air dan “genting” atau “genteng” artinya sebuah atap atau naungan. Jadi arti penamaan pulau Giligenting adalah air yang mengalir diatas genting. Hal tersebut sering diceritaakan oleh sesepuh dulu lewat dongeng ketika penulis dapatkan.

Bisa kita lihat beberapa sejarah tentang Giligenitng, bahwa pada tahun 1289 H atau 1869 M telah ada penyebar agama Islam dipulau Giligenting yang bernama K. Bithoya. Beliau mengajarkan pemahan agama Islam sedikit demi sedikit kepada masyarakat Giligenting. Akan tetapi, hanya segelintir orang saja yang masih beragama Islam dan mengamalkan ajaran-ajarannya. Hal itu dapat dilihat dari bangunan masjid yang  ada waktu dulu. Hanya beberapa  langgar ( surau ) yang  ada di beberapa kampung. Mayoritas masyarakat masih banyak yang belum paham betul tentang ajaran Islam sehingga banyak diantaranya yang melenceng dari ajaran Islam dan tarikussholah (tidak melaksanakan sholat).

Karakteristik masyarakat Giligenting dalam bekerja antara lain ulet, pekerja keras dan tidak pernah pilih-pilih pekerjaan sebagaimana etos kerja masyarakat yang memiliki semboyan “Abental Ombe’ Asapo’ Angen” (berbantal ombak berselimut angin) semboyan ini merupakan spirit yang tidak hanya terbatas pada etos kerja kelautan saja, melainkan juga pada energitas kehidupan Masyarakat, dalam menjalani kehidupan, tidak heran mayoritas mereka pergi merantau  ke berbagai daerah, khususnya Kalimantan, Jakarta, Cirebon, Serang, Banten, Tegal dan sampai saat ini dengan modal pas-pasan dan dengan ketrampilan yang kurang maksimal, namun kondisi sosial budaya mereka yang membentuk mental.

Biografi K. Hasanuddin

Bagi Sebagian orang di Giligenting mungkin sudah tahu tentang sosok kyai Kharismatik dan juga bisa dikatakan sebagai Kyai Mukhasyafah, yaitu K. Hasanuddin Bin KH. Muntaha Bin K. Bithoyah Bin K. Subir dan  merupakan keturunan K.  Ahmad Baidhowi (Pangeran Katandur), seorang ulama masyhur di Sumenep. K. Hasanuddin lahir di dusun Sumber, desa Gedugan, kecamatan Giligenting – Sumenep tahun 1926 M atau 1349 H dari pasangan KH. Muntaha bin K. Subir dan Nyai Khaira binti K. Bithoyah. Saat beliau dilahirkan banyak warga yang datang kerumah beliau dengan membawa minyak tanah yang biasa digunakan untuk colok (obor). Kemudian minyak tanah itu dimasukkan kedalam tong besar. Anehnya saat minyak tanah tersebut diambil untuk menyalakan obor, minyak tersebut tidak habis-habis dan obor pun tetap menyala. Sehingga disekitar rumah beliau menjadi terang benderang. K. Bithoyah atau kakeknya merupakan seorang penghulu (orang yang paham dalam urusan agama Islam) yang diutus oleh keraton Sumenep untuk menyebarkan agama Islam di pulau Giligenting tahun 1869 M atau 1289 H. Sedangkan bapaknya merupakan salah satu ulama yang menyebarkan agama Islam di pulau Giligenting. Maka tak heran jika K. Hasanuddin mewarisi kharismatik dari para leluhurnya. Keistimewaannya telah nampak saat remaja. Jika pemuda seusianya lebih banyak disibukkan dengan aktifitas yang kurang bermanfaat, maka beliau menghabiskan waktunya dengan belajar ilmu agama kepada orang tua, kakak dan pamannya.

Setelah K. Hasanuddin berumur sekitar 21 tahun, beliau sudah mulai mengajarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat dan para santrinya. Awalnya beliau hanya mengajarkan kitab Safinatunnajah dan membaca Al-quran. Beliau mengajar atas perintah dari paman dan kakaknya yang berada di kampung Julung dan di desa Aenganyar. Diusianya yang cukup muda ini beliau gunakan untuk mencari ilmu dan mengamalkannya. Selain itu beliau juga sengat gemar bertamu ke rumah-rumah warga untuk mengeratkan tali silaturrahmi dan mensyiarkan ajaran agama Islam. Pada usia yang dibilang cukup matang beliau melangsungkan pernikahan dengan Nyai Juwairiyah binti K. Hasa. Setelah beberapa tahun menikah dengan Nyai Juwairiyah, K. Hasanuddin dikaruniai delapan orang anak diantaranya adalah: 1. K. Moh. Ramli Hasan, 2. Nyai Yusra, 3. K. Mohammad Sholeh, 4. K. Muharral, 5. K. Abdul Qodir, 6. Nyai Aminah, 7. Nyai Baitiya, 8. K. Hanafi.

Sekitar tahun 1967 M K. Hasanuddin tampil sebagai pelita yang menerangi gelapnya pengetahuan masyarakat terhadap ajaran Islam. Beliau meretas jalan membangun kembali pondasi-pondasi yang telah runtuh, dan mengokohkan pondasi keislaman mereka melalui jalan silaturrahmi dan ceramah yang diselingi dengan kisah-kisah Islami ( dongeng ) Sejarah para wali. Saat berdakwah, beliau tidak langsung menghilangkan kepercayaan Buddhe (animisme dan dinamisme) yang telah berurat nadi dalam tradisi masyarakat dengan cara yang keras. Melainkan dengan cara memoles tradisi yang ada dengan tradisi dan ajaran Islam, sehingga jarang ada penolakan yang dilakukan oleh masyarakat. Di kalangan masyarakat pulau Giligenting, K. Hasanuddin dikenal sebagai salah satu ulama masyhur. Beliau juga dikenal sebagai pimpinan pondok pesantren An-Nur di Dusun Sumber Gedugan yang menjadi satu-satunya Pondok Pesantren yang sangat besar di Pulau Giligenting pada saat itu. Para santrinya tidak hanya datang dari Giligenting sendiri tetapi juga datang dari luar Giligenting. Dengan semangat, komitmen dan keistiqamahannya yang luar biasa, K. Hasanuddin meretas jalan, membangun puing-puing dari yang paling sederhana, menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjalankan ajaran agama Islam yang hakiki. Meminta dan memohon hanya kepada Allah swt semata.

Pada tahun 1920an di pulau Giligenting sudah ada pesantren yang hanya mengajarkan pengetahuan ajaran agama Islam saja, seperti tentang bacaan shalat dan tata cara berwudu`, karena banyak dari mereka yang memang tidak tahu betul bagaimana cara shalat dan berwudu`.  Pada mulanya hanyalah sebuah langgar untuk melakukan ritual peribadatan Sholat dan mengaji saja. Namun, lambat laun berubah menjadi sebuah pesantren yang dibangun oleh K. Hasanuddin. Hal itu dilakukannya lantaran melihat minimnya pengetahuan agama yang dimiliki masyarakat Giligenting.

Rutinitas K. Hasanuddin adalah mengajak masyarakat pulau Giligenting untuk lebih mengenal siapa Tuhannya yaitu Allah Swt. Beliau berdakwah secara door to door ke tempat yang berbeda-beda selama satu minggu penuh. Beliau berdakwah di pulau Giligenting dimulai dari Desa Galis, Desa Gedugan, Desa Bringsang, dan Desa Aenganyar. Setiap harinya dibagai-bagi. Setiap beliau ke rumah-rumah masyarakat Pulau Giligenting, beliau tidak langsung menyebarkan agama Islam secara tergesah-gesah. Beliau tidak langsug mengajak masyarakat pulau Giligenting untuk melaksanakan sholat 5 waktu (dzuhur, ashar, maghrib, isya’, subuh). Akan tetapi beliau mengawalinya dengan pembicaraan hangat dengan tuan rumah, serta berkisah apa yang menjadi rutinitas Masyarakat tiap harinya. Saat waktu sholat tiba, K. Hasanuddin biasanya meminta izin ke kamar mandi untuk berwudhu’ dan melaksanakan sholat di rumah-rumah masyarakat Giligenting yang disinggahinya. Rata-rata semua rumah yang ada di pulau Giligenting sudah pernah beliau singgahi. Sikapnya yang lemah-lembut, santun, tawadhu dan dakwah yang dilakukanya dangan bi al-hal (perbuatan), akhirnya orang-orang yang melihat K. Hasanuddin sholat bertanya-tanya dan tertarik untuk ikut melasakan sholat serta belajar agama Islam kepadanya. Setelah itu beliau tidak langsung membiarkan masyarakat yang telah memeluk agama Islam kehilangan arah. Melainkan, beliau masih membimbing mereka dari nol hingga mereka mengetahui siapa Allah swt sebenarnya dan melaksanakan perintah Allah swt yang telah diajarkan oleh agama Islam. Selain itu, beliau juga aktif membina para santrinya dipondok pesantren An-Nur yang dimilikinya dan di saat ada waktu senggang biasanya beliau mengajak para santrinya untuk mencari kayu bakar di Kahuripan ( alas )  juga memberi pengajaran ilmu berkebun yang benar.

Peran K. Hasanuddin dalam mengajak masyarakat sekitar untuk memeluk dan memahami ajaran Islam sangatlah besar. Beliau, di tengah kehidupan masyarakat Giligenting dan bahkan luar Giligenting yang terbelakang dalam segala hal, khususnya dalam pengetahuan agama, seakan menjadi pelita di tengah gelapnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat. Beliau dikenal sebagai K. yang sangat alim, mukhayafah, tawadhu‘, bersahaja serta sangat bersosial.

Hal itu terlihat pada sosok K. Hasanuddin yang suka bersilaturrahmi ke rumah-rumah warga dengan sikapnya yang santun, baik, sabar, dan lemah lembut. Biasanya saat K. Hasanuddin pulang dari rumah-rumah warga yang disinggahinya, beliau diberi buah tangan oleh para pemilik rumah. Namun buah tangan itu tidaklah sempai kerumah beliau melainkan dibagikan kepada orang-orang yang ditemuinya dijalan saat beliau menuju pulang kerumahnya. Bagi beliau, Tiada hari tanpa silaturrahmi. Dengan jalan itulah, jalinan silaturrahmi yang istiqamah dan ikhlas membuat masyarakat Giligenting tertarik untuk menimba ilmu ajaran agama Islam pada beliau. Selain itu, K. Hasanuddin juga berdakwah dengan cara mengadakan pengajian akbar yang digelar di masjid-masjid dan surau-surau yang ada di Giligenting hari minggu di Masjid Al-Munawwarah Kampung Bara` Laok Desa Galis, Rabu di Mushallah Aenganyar, malam jumat di Kampung Sumber Gedugan.

Kita sebagai putra dari pulau yang kecil, tentu juga harus memahami Sejarah tentang sosok inspirasi yang telah ikut mengukir sejarah perjuangan lewat dakwahnya yang dapat dirasakan sampai saat ini, dengan jasa-jasa beliau, sehingga beliau juga patut dipelajarinya oleh generasi muda, dan menjadi motivasi diri agar kita bisa melanjutkan estapet perjuangannya dengan melalui berbagai kegiatan bermanfaat untuk semuanya.

Bangsa yang besar tentu mereka yang selalu menghargai jasa pahlawannya, melanjutkan segala daya upaya pengorbanannya untuk kemajuan ummat dan untuk kejayaan bangsa dan negara ditanah air ini. Para pahlawan kita bukan hanya mereka yang ikut mengusir penjajah dari tanah Indonesia, tapi siapa yang mereka ikut menyelamatkan keyakinan dalam beragama juga patutlah di jadikan sebagai pahlawan dalam menyelamatkan keyakinan yang keliru menjadi benar.  Semoga para kaum muda kita bisa bangkit meniru dan tetap memperjuangkan segala hal yang bisa mewarnai kejayaan masa depan bangsa  lewat manuskrip sejarah dari para tokoh dan leluhur kita yang telah ikut andil dalam mengisi perjuangan dan demi tegaknya  kemerdekaan ditanah air ini.

 

*) Oleh: Hanafi, S.Pd.I : Pengajar di MTs. Al-Hasan dan Penggiat Literasi Pengurus “TBM Somber Elmo” Kampung Sumber Gedugan Giligenting Sumenep

 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi falihmedia.com

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber falihmedia.com

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon