Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang pemuda bernama Ali. Ali adalah santri di sebuah pondok pesantren bernama Pesantren Darul Hikmah. Pesantren ini telah berdiri sejak zaman penjajahan, dan pernah menjadi pusat pergerakan perjuangan para ulama dan santri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ali adalah anak yatim yang dibesarkan oleh ibunya. Sejak kecil, ibunya selalu bercerita tentang kakek Ali, seorang pejuang kemerdekaan yang juga santri di pesantren tersebut. Kakeknya dikenal sebagai sosok yang tangguh, tidak pernah menyerah, dan selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri sendiri.
“Semangat kakekmu harus tetap kamu jaga, Nak,” ucap ibunya suatu hari.
“Karena santri bukan hanya belajar agama, tapi juga harus menjaga negeri ini,” lanjutnya.
Di pesantren, Ali belajar tentang sejarah dan perjuangan para ulama dan santri. Kisah tentang Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari dan keberanian para santri muda di Surabaya yang memicu pertempuran 10 November, membekas dalam hati Ali. Pesan yang Ali tanamkan dalam dirinya adalah bahwa perjuangan tak harus selalu di medan pertempuran. Dalam era ini, perjuangan adalah upaya membangun bangsa dan menjawab tantangan zaman.
Suatu hari, pesantren mengadakan peringatan Hari Santri Nasional dengan mengusung tema Menyambung Juang, Merangkuh Masa Depan. Kiai Hasan, pengasuh pesantren, memberikan nasihat kepada para santri.
“Perjuangan kita hari ini bukan lagi melawan penjajah, tetapi melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Setiap santri harus menjadi obor penerang, menginspirasi perubahan, dan menjaga NKRI dari segala ancaman,” ucapnya lantang.
Kata-kata itu membuat hati Ali bergetar. Sejak hari itu, ia bertekad untuk menjadi sosok yang bermanfaat bagi orang lain. Ali aktif dalam berbagai kegiatan sosial pesantren, seperti mengajar anak-anak desa yang tidak mampu, hingga menggalang bantuan untuk orang-orang miskin di sekitar pesantren. Ali bahkan menjadi penggerak sebuah kelompok belajar untuk santri yang ingin mengembangkan keterampilan dalam teknologi, karena ia yakin bahwa di era modern ini, pengetahuan tidak boleh hanya terbatas pada kitab-kitab klasik.
“Perjuangan zaman dulu adalah perang fisik, perjuangan zaman sekarang adalah perjuangan intelektual dan sosial,” ujar Ali kepada teman-temannya.
Waktu berlalu, dan Ali berhasil menyelesaikan pendidikan pesantrennya. Ia kembali ke desa dengan misi baru: memberdayakan masyarakat dengan pendidikan dan kemandirian ekonomi. Ali mendirikan sebuah lembaga pelatihan berbasis keterampilan di desanya, mengajarkan teknologi pertanian dan usaha mandiri kepada para pemuda desa. Ia ingin memberikan harapan dan semangat juang, seperti yang diwariskan oleh para pahlawan santri dahulu.
Ali ingat kata-kata Kiai Hasan, “Santri adalah penjaga negeri, yang tugasnya tak pernah selesai”. Kata-kata itu menjadi kompas hidup Ali. Baginya, perjuangan tidak mengenal akhir. Ia selalu yakin bahwa menjadi santri berarti berjuang untuk negeri ini, dalam bentuk apa pun dan di masa apa pun.
Di tengah kemajuan desa yang mulai berkembang, Ali tersenyum, memandang generasi muda yang kini memiliki semangat baru. Baginya, perjuangan kakek, pesan para ulama, dan ajaran di pesantren adalah obor yang harus terus menyala.
“Menyambung Juang, Merangkuh Masa Depan,” bisik Ali dalam hati, sembari menatap anak-anak desa yang kini semangat menuntut ilmu di lembaga yang ia dirikan. Ali tahu, semangat kakeknya dan perjuangan para santri dahulu masih hidup, terus berlanjut melalui generasi-generasi baru. Selalu ada harapan, selama masih ada yang berjuang.
Pesan moral dari cerpen Menyambung Juang, Merangkuh Masa Depan adalah bahwa perjuangan tidak hanya berarti bertempur secara fisik melawan penjajah, tetapi juga tentang bagaimana seseorang berjuang menghadapi tantangan zaman dengan semangat yang sama. Setiap generasi memiliki bentuk perjuangannya sendiri, dan tugas kita adalah menyambung semangat juang para pendahulu dengan tekad untuk membawa perubahan positif bagi masyarakat dan bangsa.
Menjadi pahlawan di masa kini bukan lagi soal mengangkat senjata, tetapi tentang bagaimana kita memberdayakan diri dan orang lain, menyebarkan kebaikan, memperjuangkan keadilan, serta terus menjaga persatuan. Perjuangan yang sebenarnya adalah menjaga nilai-nilai luhur, memberikan manfaat kepada orang lain, dan tidak pernah menyerah menghadapi rintangan.
*) Oleh: LAILI, S.Pd Alumni IAIN Madura