Konsep Mahabbah (Cinta Spiritual) dalam Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah: Pemahaman dan Aplikasinya

Ilustrasi Foto: Pexels

FALIHMEDIA.COM – Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khai bin Ismail al-Adawiyah al-Qaisyiyah. Lahir di Basrah di perkirakan pada tahun 95 H (717 M). Beliau adalah salah seorang sufi yang terkenal di basrah, dan beliau juga tokoh sufi pertama dan kedua. Ayahnya bernama Ismail, adalah seorang zuhud yang menghabiskan waktu siangnya untuk bekerja dan malam untuk beribadah.

Pendapatannya terlalau sedikit, sehingga tidak mencukupi untuk keperluan istrinya yang tengah mengandung dan ketiga anak perempuan nya yang masih terbilang kecil-kecil. Akan tetapi beliau tetap merasa cukup dengan rezeki yang sedikit itu, beliau senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah Allah limpahkan, dan senanatiasa beristighfar, beliau juga tidak pernah memandang berat terhadap dunia dan tidak tamak untuk mencarinya.

Pada suatu malam yang gelap gulita, tibalah bagi sang Istri untuk melahirkan anak ke-empatnya. Diceritakan oleh Fariruddin Al-Attar bahwa pada masa kelahiran Rabi’ah tidak terdapat satupun barang berharga dirumah Ismail, bahkan setetes minyak pun tidak ada untuk mengoles pusar anaknya yang baru lahir, apalagi minyak penerang.

Di rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kain untuk menyelimuti sang bayi, istrinya meminta agar Ismail pergi ketetangga untuk meminta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi Ismail telah bersumpah untuk tidak meminta sesuatu pun kepada orang lain, sehingga Ismail berpura-pura keluar untuk pergi ketetangganya, lalu kembali ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur dan tidak ada satupun orang yang membuka pintu.

Pada tengah malam di saat Ismail tertidur dengan keadaan tertekan karena tidak memiliki sesuatupun disaat kelahiran putrinya, ia bermimpi didatangi Nabi Muhammad saw, dan bersabda:

“Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh tujuh ribu umatku”.

Dalam mimpi tersebut Nabi juga memberi perintah agar besok menemui Isa Zaidan, seorang amir dengan menyampaikan sepucuk surat yang berisi pesan Rasulullah seperti yang diperintahkan dalam mimpi. Isi surat itu:

“Hai amir, engkau biasanya membaca shalawat seratus kali setiap malam dan empat ratus kali tiap malam Jum’at. Tetapi dalam Jum’at terakhir ini engkau lupa melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar empat ratus dinar kepada yang membawa surat ini, sebagai kafarat atas kelalaianmu”.

Ayah Rabi’ah terbangun dan menangis, ia lalu bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menulis surat serta mengirimkannya kepada Amir melalui pembawa surat pemimpin itu. Ketika Amir telah selesai membaca surat itu ia berkata:

“Berikan dua ribu dinar kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaanya dengan jenggotku”.

Rabi’ah tumbuh di sebuah rumah terpencil dengan keluarga yang menderita kelaparan dan kemiskinan. Walaupun hidup di tengah keluarga yang serba kekurangan, akan tetapi Rabi’ah kaya akan Iman dan Takwa. Rabi’ah telah banyak mengambil pelajaran agama yaitu Qana’ah dan wara’ dari sang ayah, rohaninya pun mulai berkembang, sehingga Ia sangat mahir membaca Al’Qur’an. Bukan hanya membaca, akan tetapi Rabi’ah menghafalnya dengan penuh khusyuk serta memahami maknanya dengan penuh keyakinan dan iman yang mendalam.

Rabi’ah telah hafal Al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam menghafal dapat dimaklumi, karena beliau sangat suka menghafal. Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang bisa terbilang dengan kehidupan orang shaleh yang penuh zuhud. Ayahnya menghendaki agar anaknya terjaga dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang dapat menjadi penghalang pertumbuhan jiwanya, dan dapat menyekat kesempurnaan bathiniyahnya. Rabi’ah sering dibawa ayahnya ke musholla di pinggiran kota Basrah, dan ditempat inilah Rabi’ah sering melakukan bermacam ibadah, munajat, dan berdialog dengan sang Khalik.

Sejak kecil Rabi’ah terbiasa menggantungkan harapannya kepada dirinya sendiri. Ia sangat memahami kondisi ekonomi orang tuanya, ia selalu menerima apapun yang diberikan kepadanya. Pada masa kanak-kanak Rabi’ah telah ditinggal pergi oleh orang tuanya, dan hal ini tidak menjadikannya asing dengan kemiskinan dan penderitaan. Ia tidak merasa canggung bekerja dari pagi sampai sore untuk memenuhi kehidupannya.

Kini Rabi’ah hidup bersama dengan ketiga saudara perempuannya. Ia meneruskan pekerjaan ayahnya dengan menyeberangi sungai Dijlah dengan sampannya. Hal ini ia lakukan secara terus-menerus hingga akhirnya dia dikenal dengan nama Rabi’ah Al-Adawiyah.

Rabia’ah Al-Adawiyah adalah seorang sufi dari Basrah yang pertama kali memperkenalkan konsep mahabbah dalam bidang tasawuf. Ia tidak pernah merasakan manisnya sekolah maupun pergi kerumah guru untuk menjadi seorang sufi, tetapi kemasyhurannya telah sampai menjangkau Eropa. Para sarjana barat seperti Margaret Smith, Masignon dan Nicholson sangat kagum akan sejarah hidup Rabi’ah. Buah renungan Rabi’ah yang sangat dalam sehingga menjadikan para sastrawan sangat menaruh minat untuk meneliti buah pikirannya.

Maha suci Allah yang telah membalas keimanan dan ketakwaan seorang hamba-Nya yang bernama Ismail. Ismail adalah seorang yang terbilang miskin akan harta, tetapi kaya akan rasa syukur kepada Tuhan-Nya. Ia tidak bisa memberikan anak perempuannya sebuah pendidikan yang layak karena keterbatasan ekonomi, tapi ini tidak membuat ia pasrah, justru semua ilmu yang ia miliki ia amalkan bersama dengan anaknya, dengan sering mengajak Rabi’ah pergi ke musholla. Ia tanamkan segala hal kebaikan dan terpuji dalam diri Rabi’ah sehingga Rabi’ah memiliki hati yang suci dan bersih. Bekal inilah yang menjadikan Rabi’ah dikenal sebagai tokoh sufi. Mahabbah (cinta murni kepada Allah) merupakan puncak tasawuf Rabi’ah.

Konsep Mahabbah Perspektif Rabi’ah Al-Adawiyah

Mahabbah, dalam konteks tasawuf, mengacu pada cinta yang mendalam dan tulus kepada Allah. Cinta ini melampaui cinta yang biasa kita alami dalam hubungan manusiawi karena didasarkan pada pengenalan dan penghormatan terhadap esensi ilahi yang maha sempurna. Rabi’ah Al-Adawiyah melihat mahabbah sebagai bentuk tertinggi dari ibadah, di mana seorang hamba mencintai Allah tanpa mengharapkan imbalan atau takut akan hukuman.

Rabi’ah Al-Adawiyah menekankan bahwa cinta kepada Allah haruslah murni dan tidak tercemar oleh motif-motif pribadi. Cinta ini tidak boleh didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan pahala surga atau menghindari siksa neraka. Rabi’ah berpendapat bahwa Allah layak dicintai semata-mata karena sifat-Nya yang maha sempurna dan agung. Pernyataan terkenalnya:

“Aku tidak mencintai-Mu karena takut akan neraka atau berharap surga. Aku mencintai-Mu karena Engkau layak dicintai,” menggambarkan esensi dari pandangannya tentang mahabbah.

Salah satu aspek yang menonjol dari ajaran Rabi’ah adalah penolakannya terhadap segala bentuk imbalan duniawi dalam beribadah. Baginya, cinta kepada Allah tidak boleh dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan duniawi atau bahkan spiritual. Ia melihat ibadah yang didorong oleh motif-motif ini sebagai kurang tulus dan tidak murni. Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta kepada Allah haruslah menjadi tujuan akhir dalam dirinya sendiri.

Rabi’ah Al-Adawiyah juga mengajarkan bahwa mahabbah adalah jalan menuju kesatuan dengan Tuhan. Melalui cinta yang tulus dan murni, seorang hamba dapat mencapai kedekatan yang intim dengan Allah. Cinta ini membawa seseorang untuk mengenal Allah lebih dalam dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Kesatuan ini tidak berarti menjadi satu dengan Tuhan dalam arti fisik, tetapi lebih kepada pencapaian pemahaman dan kedekatan spiritual yang mendalam.

Konsep mahabbah yang diajarkan oleh Rabi’ah memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan sehari-hari. Cinta ilahi yang murni mendorong seseorang untuk hidup dengan kesederhanaan, kesabaran, dan pengabdian total kepada Tuhan. Rabi’ah sendiri menjalani kehidupan yang penuh dengan doa, dzikir, dan pengabdian. Praktik-praktik ini bukanlah bentuk penolakan terhadap dunia, tetapi cara untuk memurnikan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.

Pandangan Rabi’ah tentang mahabbah telah memberikan pengaruh besar dalam tradisi tasawuf. Banyak sufi setelahnya, seperti Jalaluddin Rumi dan Al-Hallaj, terinspirasi oleh ajarannya tentang cinta ilahi. Konsep mahabbah yang diajarkan oleh Rabi’ah membantu mengarahkan tasawuf ke arah yang lebih personal dan emosional, menekankan hubungan langsung antara individu dan Tuhan.

Konsep mahabbah dalam perspektif Rabi’ah Al-Adawiyah menekankan cinta yang murni, tulus, dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta ini tidak didasarkan pada keinginan untuk memperoleh imbalan atau menghindari hukuman, melainkan didasarkan pada pengakuan bahwa Allah layak dicintai karena esensi-Nya yang maha sempurna. Ajaran Rabi’ah tentang mahabbah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan tasawuf, menginspirasi banyak sufi, dan memperkaya pemahaman tentang hubungan manusia dengan Tuhan dalam Islam. Melalui kehidupannya yang penuh pengabdian dan kesederhanaan, Rabi’ah Al-Adawiyah memberikan teladan tentang bagaimana cinta ilahi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Manifestasi Konsep Mahabbah dalam Kehidupan Rabi’ah Al-Adawiyah

Seorang sufi untuk berada dekat dengan tuhan harus menempuh jalan panjang yang berisi stasiun-stasiun atau yang biasa disebut dalam bahasa Arab maqamat dan stations dalam bahasa Inggris. Salah satu wujud kecintaan Rabi’ah kepada Tuhan digambarkan melalui syair yang ia tulis. Robi’ah memiliki banyak syair cinta yang berisi tentang kedalaman cinta-Nya kepada Tuhan (Fitriani 2021). Rabi’ah Al-Adawiyah adalah sosok sufi yang menunjukkan konsep mahabbah (cinta spiritual) melalui berbagai aspek kehidupannya, termasuk taubat, wara’, zuhud, sabar, tawakal, dan ridha.

Taubat (Pertobatan)

Taubat adalah stasiun pertama yang harus dilalui oleh seseorang yang mengamalkan tasawuf. Sebab Rasul sendiri meskipun telah bersih dari dosa, beliau tidak berhentinya memohon ampun dan bertaubat kepada Allah. Apalagi kita sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari salah dan dosa. Dalam mengartikan taubat, para sufi berbeda pendapat,  Namun dalam garis besarnya taubat dapat di bedakan dalam tiga kategori : pertama taubat dalam pengertian meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan segala kebajikan. Kedua Taubat adalah meninggalkan keburukan dan melakukan kebaikan karena takut murka Allah. Ketiga terus menerus bertaubat walaupun sudah tidak melakukan dosa. Namun bagi para sufi, taubat bukan hanya sebagai penghapus dosa. Melainkan sebagai syarat mutlak agar dapat dekat dengan Tuhan.

Rabi’ah mengungkapkan bahwa taubat semestinya merupakan pintu masuk pertama bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, sebab di dalam taubat ada penyesalan terhadap perbuatan tercela yang telah dilakukan di masa silam sekaligus terdapat daya tarik (ikhtiar) kebangkitan jiwa dari seorang hamba untuk bebuat kebaikan di masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan lirik syair Robi’ah yang berbunyi:

Ya Allah

Semua jerih payahku

Dan semua hasratku di antara segala

Kesenangan-kesenangan

Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau

Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan

Adalah untuk berjumpa dengan-Mu

Begitu halnya dengan diriku

Seperti yang telah Kau katakan

Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki

Wara’ (Kewaspadaan terhadap Dosa)

Pengertian dari wara’ sendiri adalah menghindari dari segala sesuatu yang tidak baik. Akan tetapi bagi para sufi, mereka mengartikan wara’ itu sebagai meninggalkan sesuatu yang tidak jelas hukumnya baik makan, pakaian ataupun persoalan lain. Ibrahim bin Adham berpendapat bahwa wara’ ialah meninggalkan segala yang meragukan dan meninggalkan kemewahan.

Orang-orang sufi adalah seseorang yang sangat hati-hati dalam bertindak. Mereka tidak mau menggunakan atau melakukan sesuatu yang tidak jelas status dan hukumnya, apalagi yang sudah jelas-jelas bersifat haram. Orang sufi senantiasa menghiasi dirinya dengan sifat wara’, sebab menurut mereka seseorang yang tidak memiliki sifat wara’ belum merasakan nikmatnya hidup.

Rabi’ah juga mengungkapkan bahwa puncak kenikmatan yang sebenarnya adalah ketika kita menghiasi hidup kita akan sifat wara’ dan senantiasa mengerjakan sesuatu sesuai dengan syariat Islam, menjaga dari sesuatu yang bersifat haram, dan senantiasa berdzikir akan Allah. Hal ini sesuai dengan lirik syair yang Robi’ah ungkapkan:

Tuhanku

Tenggelamkan diriku ke dalam lautan

Keikhlasan mencintai-Mu

Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku

Selain berdzikir kepada-Mu.

Zuhud (Asketisme)

Rabi’ah mengungkapkan bahwa orang zuhud adalah orang yang tidak pernah senang dengan melimpahnya harta, dan tidak akan pernah susah jika harus kehilangannya, dan rela memberikan apa yang sepantasnya dia miliki kepada orang lain hanya untuk meninggalkan duniawi. Hal ini juga sesuai dengan syair Robi’ah yang berbunyi:

Ya Allah, apa pun yang akan Engkau

Karuniakan kepadaku di dunia ini,

Berikanlah kepada musuh-musuh-Mu

Dan apa pun yang akan Engkau

Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,

Berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu

Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku

Mengenai pengertian zuhud terdapat berbagai pendapat, namun semuanya mengarah pada mengurangi ataupun mengabaikan kehidupan duniawi dengan segala kenikmatannya. Karena, kenikmatan hidup duniawi bersifat sementara dan merupakan suatu penghambat untuk selalu dekat dengan Allah, sehingga seseorang akan semakin jauh dari-Nya.

Sabar (Kesabaran)

Pandangan kaum sufi tentang sabar merupakan sisi yang penting dalam memperbaiki kendala kejiwaan, dan sabar pada hakikatnya merupakan sikap berani dalam menghadapi segala kesulitan. Ketika berharap akan sesuatu namun tidak dapat kita capai, tetap berusaha dan berdo’a akan kemurahan Allah selalu datang untuk kita. Hal ini di ungkapkan Robi’ah dalam syairnya yang berbunyi:

Ya Illahi Rabbi

Malam telah berlalu

Dan siang datang menghampiri

Oh andaikan malam selalu datang

Tentu aku akan bahagia

Demi keagungan-Mu

Walau Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu

Aku akan tetap menanti di depannya

Karena hatiku telah terpaut pada-Mu

Sabar adalah sikap utama dan akan memberikan keutamaan dalam segala bidang kehidupan, sabar dalam ibadah, sabar dalam menuntut ilmu, dalam pekerjaan, sabar dalam komunikasi dengan sesama manusia, sabar dalam sehat maupun sakit, sabar dalam cinta, sabar ketika membenci, sabar dalam kenikmatan dan penderitaan, dan sesungguhnya sabar merupakan sumber keutamaan akhlak. Sabar merupakan obat yang ampuh dalam mengobati penyakit kejiwaan. Sabar merupakan proses pengosongan jiwa dan pemenuhan dengan sifat-sifat baik dengan bimbingan Allah. Sabar juga menjauhkan kita dari penyakit dan godaan jiwa, sehingga seseorang yang sabar akan memperoleh ketenangan jiwa yang tidak sedikit orang yang mengharapkannya. Adapun puncak dari kesabaran itu sendiri adalah tawakkal.

Tawakkal (Berserah Diri)

Tawakkal adalah suatu sifat yang disebut Pasrah, yang mana kita menyerahkan dan memercayakan semuanya kepada Allah setelah apa yang sudah kita rencanakan dan yang kita usahakan. Kita yang berencana dan mengusahakan, Allah lah yang akan menentukan hasilnya. Hal ini sesuai dengan lirik Syair Rabi’ah yang berbunyi:

Ya Allah

Semua jerih payahku

Dan semua hasratku di antara segala kesenangan-kesenangan

Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau

Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan

Adalah untuk berjumpa dengan-Mu

Begitu halnya dengan diriku

Seperti yang telah Kau katakan

Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki

Sifat tawakkal akan memberikan ketenangan bagi orang mukmin dan akan memberikan sikap stabil pada jiwa. Tawakkal adalah perasaan dari seorang mukmin dalam memandang alam, bahwa apa yang terdapat didalamnya tidak luput dari campur tangan Allah, dimana didalam hatinya digelar oleh Allah ketenangan, dan disinilah seorang mukmin merasa tenang dengan Tuhannya setelah ia melaksanaan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah.

Pada hakikatnya orang yang tawakkal kepada Allah, telah memikirkan sebab-sebabnya dengan baik, dan ia telah menyandarkan segala urusannya kepada Allah Swt. Disamping itu, sebelum bertawakkal seseorang telah memiliki sifat wara’, sabar, dan taubat dan semua itu semua merupakan maqamat yang telah memberikan kepada dirinya ketenangan dan ketentraman jiwa, karena pada tiap-tiap tingkatan maqam ia selalu bersama Allah dan kepada-Nya lah ia bertawakkal.

Perilaku tersebut bagi seorang sufi telah memberikan keridhaan akan jiwanya dan tidak akan merasakan sikap ridha ini kecuali orang yang benar-benar taubat, wara’ dan bertawakkal lalu ridha dengan segala apa yang telah Allah berikan kepada dirinya.

Ridha (Keridhaan)

Rabi’ah Al-Adawiyah ketika ditanya tentang ridha beliau menjawab, bahwa seseorang mendapat musibah maka perasaannya sama seperti mendapat nikmat. Hal ini sesuai dengan lirik syair Rabi’ah yang beliau ungkapkan.

Ya Tuhan, lenganku telah patah

Aku merasa penderitaan yang hebat atas segala yang telah menimpaku

Aku akan menghadapi segala penderitaan itu dengan sabar

Namun aku masih bertanya-tanya

Dan mencari-cari jawabannya

Apakah Engkau ridha akan aku Ya Allah

O Tuhan, inilah yang selalu mengganggu langit pikiranku

Menurut Zunnun al-Mishri, ridha adalah menerima qadha dan qadar Allah dengan ikhlas.

Manifestasi konsep mahabbah dalam kehidupan Rabi’ah Al-Adawiyah melalui taubat, wara’, zuhud, sabar, tawakal, dan ridha menunjukkan betapa mendalam dan tulus cintanya kepada Allah. Syair-syair yang diungkapkannya memperkuat pesan-pesan spiritualnya dan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang cara mencintai Allah dengan cara yang murni dan penuh pengabdian. Melalui kehidupan dan ajaran-ajarannya, Rabi’ah Al-Adawiyah memberikan teladan yang kuat tentang bagaimana cinta ilahi dapat diwujudkan dalam praktik sehari-hari, menginspirasi banyak orang untuk mengejar kedekatan dengan Tuhan melalui cinta yang murni dan penuh kesederhanaan.

 

 

*Penulis Fatimatus Zahrah (Pamekasan), Fakultas Ushuluddin, Prodi: Aqidah Filsafat, Universitas Al-Amien Prenduan Sumenep

 

“Redaksi FalihMedia menerima tulisan opini, artikel dan tulisan lainnya yang sifatnya memberi sumbangan pemikiran untuk kemajuan negeri ini. Dan semua isi tulisan di luar tanggung jawab Redaksi FalihMedia”

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber falihmedia.com

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon