FALIHMEDIA.COM | JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyampaikan klarifikasi terkait penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada biaya administrasi Quick Response Indonesian Standard (QRIS) yang akan berlaku mulai 2025.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa pengenaan PPN ini bukan merupakan kebijakan baru.
“Pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik telah diatur sejak Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku mulai 1 Juli 1984,” ujarnya.
Aturan ini diperbarui melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
PPN dikenakan pada Merchant Discount Rate (MDR) QRIS, yaitu biaya jasa yang dibayar merchant kepada Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP). Menurut Bank Indonesia, tarif MDR QRIS saat ini adalah 0,3 persen untuk usaha mikro dan 0,7 persen untuk usaha kecil, menengah, dan besar, dengan penerapan sejak 1 September 2023. DJP menegaskan bahwa biaya ini hanya ditanggung oleh merchant dan tidak boleh dibebankan kepada konsumen.
Selain QRIS, PPN juga berlaku pada biaya layanan uang elektronik (e-money) dan dompet elektronik (e-wallet), termasuk biaya layanan registrasi, pengisian saldo (top-up), pembayaran transaksi, transfer dana, dan tarik tunai. Namun, nilai uang elektronik seperti saldo, bonus poin, dan transaksi transfer dana murni tidak dikenakan PPN.
Sebagai ilustrasi, jika biaya administrasi top-up adalah Rp 1.000 dengan tarif PPN 11 persen, total biaya menjadi Rp 1.110. Saat tarif PPN naik menjadi 12 persen, total biaya menjadi Rp 1.120. Sementara itu, jika pengguna melakukan transaksi tanpa biaya tambahan, maka PPN tidak berlaku.