Opini  

Politik dan Budaya Carok

Hanafi, S.Pd.I : Pengajar di MTs. Al-Hasan dan Penggiat Literasi Pengurus “TBM Somber Elmo” Kampung Sumber Gedugan Giligenting Sumenep

FALIHMEDIA.COM – Berduka kembali di  Sampang Madura dengan beredarnya informasi di media sosial yang mengakibatkan tewasnya seseorang. Pembacokan terjadi di Desa Ketapang Laok, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang dengan korban H. Jimmy berumur kurang lebih 45 tahun. Mutif utamanya masalah politik yang sedang hangatnya jelang pilkada.

Lalu, kenapa di Madura harus ada budaya carok?. Seperti yang di lansir di Kompas.com, Sabtu (26/08/2023). Carok adalah pertarungan yang dilakukan oleh orang Madura menggunakan celurit (sajam), untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan. Latar belakang dilakukannya carok biasanya berkaitan dengan kasus-kasus mengenai sentimen, seperti gangguan terhadap istri atau perselingkuhan, salah paham, masalah tanah atau harta warisan, utang-piutang, dan masalah lain.

Tiap daerah memilik budaya yang berbeda. Salah satu khas dari budaya orang Madura sejak dulu sampai sekarang adalah “Carok”. Nah, disinilah kita memahami tentang budaya yang bisa dibilang turun temurun di Madura.

Banyak permasalahan sepele di tangani dengan cara yang tak wajar dan  sadis dan tidak manusiawi. Beberapa hal yang kerap terjadi khususnya di daerah pedesaan Madura terjadi percekcokan yang berujung pada hilangnya nyawa seseorang.

Apapun alasannya, carok jelas termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan baik dipandang dari segi agama maupun dari sudut pandang hukum yang berlaku dinegara Inodnesia, karena carok merupakan sebuah upaya perampasan hak hidup orang lain.

Madura merupakan tanah yang gersang ditinjau dari segi  geografisnya dan berpengaruh terhadap watak serta karakternya keras pula. (Detikjatim: 08 Jun 2023), “Sekilas tentang Carok dan Ungkapan Madura: Obatnya Malu Adalah Mati” Bagi warga Madura, menjunjung harga diri itu penting. Oleh karena itu, ketika harga diri diruntuhkan orang lain, maka timbul malo atau rasa malu. Maka benar asumsi sebagian orang,  carok masih ada sampai sekarang, meski tidak sesering pada zaman dulu, hanya demi mempertahankan rasa malu.

Sebagian orang Madura mungkin masih memandang carok sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Meski carok tetap dipandang sebagai prilaku yang tidak wajar dan tidak berprikemanusiaan. Pemerintah, tokoh agama dan sejumlah kelompok masyarakat telah berupaya mengedukasi warga untuk mengurangi praktik carok yang berpotensi merugikan salah satu pihak yang berseteru. Larangan resmi dari pihak keamanan juga sering dilakukan terhadap masyarakat agar tidak melalukan carok Ketika ada permasalahan dan menyelesaikan dengan cara kekeluargaan. Mungkin sulit diterapkan sepenuhnya oleh sebagian masyarakat Madura,  karena campur tangan nilai budaya dan identitas lokal yang kuat dengan istilah, “lebbih begus pote tolang etembeng  pote mata” (lebih baik mati, dari pada hidup menanggung malu). Maka akar pribahasa itu harus sedikit kita geser dengan pribahasa yang lain agar generasi selanjutnya tidak meneruskannya.

Politik dengan Nuansa carok

Paradigma selalu muncul Ketika terjadi perselisihan atau pertengkaran yang  mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, bahwa orang madura adalah keras dan selalu membunuh,  dalam berbagai kejadian  menjadi asumsi tersendiri bagi masyarakat madura, carok menjadi taruhan yang Sebagian menjadi tradisi. Sebagian pula carok merupakan pemulihan identitas diri Ketika seseorang di lecehkan dan direndahkan harga dirinya.

Belakangan ini kita kerap carok berindikasi dengan pelaksanaan pemilihan, baik pemilihan kepala desa (kalebun) maupun pemilihan kepala daerah (Bupati). Kontestasi politik dijadikan pemicu terjadinya berbagai perseteruan antar para pendukung dan saling berseteru merebut kekuasaan.

Dalam peristiwa carok, ada istilah saling merebut dan menguasai daerah pendukung yang mendukung salah satu paslon untuk dijadikan daerah kekuasaannya dan tidak boleh ada orang lain yang coba-coba untuk memasuki daerah tersebut kemudian sampai mengajak masyarakat untuk pindah pilihan pada pilihan lain.

Fanatisme dukungan pada salah satu paslon sangatlah tinggi bagi orang madura, apalagi yang menjadi paslon dari kalangan  guru, kyai atau tokoh masyarakat yang berpengaruh diwilayahnya, maka harga diri dan taruhan nyawa nomer wahid.

Ikatan sosial orang madura memanglah sangat kental. Pola hidup yang selalu mengedepankan sopan santun dan saling tolong menolong merupakan hal yang tak diragukan lagi. Apapun bentuk kegiatan di masyarakat  selalu ikut berpartisipasi. Dimensi kultur semacam itu yang seharusnya kita tetap banggakan, bukan budaya caroknya yang dikedepankan.

Kata Sebagian orang, hanya gegara beda dukungan dan beda pilihan harus kehilangan nyawa. Begitu murahnya harga nyawa kita kalau hanya sekedar untuk refresentasi merebut kekuasaan yang pada akhirnya kitapun tak akan merasakannya, dan tidak lain hanya sekedar mengedepankan rasa egois dan fanatisme.

Pengalaman  yang kerap terjadi dilapangan, yaitu masalah perselisihan antar pendukung calon, kemudian pertengkaran dalam merebut kalah menang, judi, maling dan bahkan “charok” menjadi hal biasa. Ada pihak profokator untuk terus berupaya agar salah satu pendukung melakukan anarkisme terhadap lawan  pendukungnya.

Kesadaran diri dan upaya untuk menenangkan diri dan warga pada saat pemilihan kepala desa dan Bupati harus benar-benar menjadi penanganan utama. Warga atau siapapun tidak boleh melakukan intimidasi, dan  kekerasan. Berilah  kebebasan untuk mendukung salah satu paslon dan pilihlah dengan hati nurani yang tidak merugikan siapapun.

Penyadaran diri memanglah sangat penting dan perlu di tingkatkan, khususnya bagi masyarakat kalangan bawah yang masih kurang paham terhadap apa manfaat dari perseteruan dan bagaimana  dampak apabila selalu terjadi perseteruan. Keamanan dan kenyamanan warga akan terganggu apabila hal tersebut menjadi budaya. Ketakutan dan ancaman bagi masyarakat saat pemilihan  akan selalu menjadi kegelisahan individu. Kita memilih calon seakan berada  dalam tekanan dan tidak adanya kepuasan ketika dimenangkan oleh salah satu paslon.

Upaya penyadaran dari berbagai pihak harus diperketat. Sosialisasi dalam memilih calon dan mendukung salah satu paslon dilakukan untuk mengedukasi dan mengurangi angka terjadinya kecurangan dan angka kekerasan pada warga. Polri, TNI, Guru, kyai dan tokoh Masyarakat, tokoh pemuda serta pihak paniti pemilu (KPU dan Bawaslu) menjadi garda terdepan untuk mengawal dan mengawasi berbagai kegiatan jelang pemilihan. Duduk Bersama, merangkul dan mengawasi daerah-daerah yang memang rawan terjadinya perselisihan. Programkan romansah kebersamaan dan kedamaian bersama dalam romansah pesta demokrasi.

 

 

*) Oleh: Hanafi, S.Pd.I : Pengajar di MTs. Al-Hasan dan Penggiat Literasi Pengurus “TBM Somber Elmo” Kampung Sumber Gedugan Giligenting Sumenep

 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi falihmedia.com

 

Exit mobile version